1. Gaya Kepemimpinan Laissez Faire
Gaya kepemimpinan Laissez Faire
ditandai dengan pola perilaku tugas rendah dan pola perilaku tenggang rasa
rendah (G.1). Kepala sekolah yang melakukan gaya kepemimpinan Laissez faire,
sedikit sekali perhatiannya baik dalam upaya peningkatan kesejahteraan guru
maupun karyawan. Kepala sekolah bersikap acuh tak acuh terhadap tugas dan
tanggung jawabnya. Dalam melaksanakan pekerjaan seharihari, guru dan karyawan
dibiarkan bekerja sesuai dengan kemauannya sendiri-sendiri, tanpa diberikan
petunjuk, tanpa ada pembagian pekerjaan yang jelas, tanpa diawasi, dan tanpa
koordinasi satu sama lain. Aplikasi gaya kepemimpinan Laissez Faire dalam
proses kepemimpinan di sekolah menyebabkan guru dan karyawan mengalami
kebingungan dalam melaksanakan pekerjaannya, yang pada gilirannya berakibat
pada menurunnya kinerja guru dan karyawan yang bersangkutan.
2. Gaya Kepemimpinan Partisipatif
Gaya kepemimpinan partisipatif
ditandai dengan pola perilaku tugas rendah dan pola perilaku tenggang rasa tinggi
(G.2). Kepala sekolah yang melakukan gaya kepemimpinan partisipatif benar-benar
memperhatikan kesejahteraan guru dan karyawan, dan berupaya untuk mengembangkan
potensi mereka agar dapat mencapai pertumbuhan secara maksimal, baik
pertumbuhan pribadi (personal growth) maupun pertumbuhan jabatan (professional
growth). Kepala sekolah lebih banyak melakukan delegasi kekuasaan, dan
menyerahkan kepada guru dan karyawan untuk mengorganisir sendiri pekerjaan yang
menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini, kepala sekolah lebih banyak
bersikap sebagai pembimbing daripada sebagai atasan. Hubungan antara kepala
sekolah dengan guru dan karyawan terjalin secara harmonis, sehingga sampai pada
batasbatas tertentu hampir tidak terdapat jarak antara kepala sekolah dengan
guru dan karyawan. Aplikasi gaya kepemimpinan partisipatif dalam proses
kepemimpinan di sekolah menciptakan iklim organisasi sekolah yang sehat dan
menyenangkan. Hal ini mendorong timbulnya partisipasi aktif dari guru dan
karyawan, sehingga tanggung jawab yang timbul tidak bersifat “seharusnya”
melainkan bersifat “sukakarela”. Dengan kata lain, gaya kepemimpinan
partisipatif menyebabkan tingkat kinerja yang tinggi bagi guru dan karyawan.
Baca Juga: SOAL ASLI OLIMPIADE (OSN) SD TINGKAT PROVINSI 2017
Baca Juga: SOAL ASLI OLIMPIADE (OSN) SD TINGKAT PROVINSI 2017
3. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan demokratis ditandai
dengan pola perilaku tugas tinggi dan pola perilaku tenggang rasa tinggi (G.3).
Kepala sekolah yang melakukan gaya kepemimpinan demokratis besar sekali
perhatiannya, baik dalam upaya peningkatan kesejahteraan guru maupun karyawan.
Berbeda dengan gaya kepemimpinan partisipatif yang lebih banyak mempercayakan
kepada guru dan karyawan untuk mengorganisir pekerjaannya masing-masing. Dalam
gaya kepemimpinan demokratis, kepala sekolah berperan aktif dalam menentukan
tugas dan tanggung jawab masingmasing guru dan karyawan, dan tetap melakukan
pengawasan dalam proporsi yang memadai. Namun demikian, kepala sekolah tidak
melakukannya secara sepihak; artinya setiap keputusan yang diambil adalah
merupakan hasil musyawarah dan karyawan sebagai tekanan, sebaliknya dipandang
sebagai suatu tantangan untuk memacu diri dalam bekerja lebih baik. Sesuai
dengan pendapat Blake dan Mouton, beberapa kepemimpinan demokratis berakibat
positif atau sangat efektif dalam meningkatkan kinerja bawahan. Dengan
demikian, sejauh ini telah dapat diidentifikasi adanya dua macam gaya
kepemimpinan kepala sekolah yang dipandang efektif dalam meningkatkan kinerja
guru dan karyawan, yaitu: (1) gaya kepemimpinan partisipatif dan (2) gaya
kepemimpinan demokratis.
4. Gaya Kepemimpinan Otokratis
Gaya kepemimpinan otokratis ditandai
dengan pola perilaku tugas tinggi dan pola perilaku tenggang rasa rendah (G.4).
Kepala sekolah yang melakukan gaya kepemimpinan otokratis dalam segala pola
perilakunya bersifat direktif, mengutamakan status formal (legitimate power)
yang didudukinya, dan perhatian sepenuhnya dipusatkan pada tercapainya tujuan
sekolah secara maksimal dengan sedikit sekali memperhatikan kebutuhan personal
guru dan karyawan. Hubungan antara kepala sekolah dengan guru dan karyawan
semata-mata adalah merupakan hubungan kerja, disertai dengan berbagai peraturan
yang serba mengikat dan pengawasan yang ekstra ketat. Dalam kondisi demikian,
guru dan karyawan dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan sekolah dan atau
sebagai pelaksana yang harus serba mentaati semua perintah yang diberikan oleh
kepala sekolah, tanpa diberi kebebasan sedikitpun untuk mengorganisir
pekerjaannya sendiri. Aplikasi gaya kepemimpinan otokratis dipengaruhi motivasi
tradisional (courcion model motivation) yang cenderung bersifat kaku: “bekerja
dengan baik atau dihukum”. Oleh karena sifatnya yang cenderung menekan, guru
dan karyawan bekerja dalam suasana yang penuh ketegangan dan ketakutan yang
terus menerus, yang pada gilirannya akan berakibat pada menurunnya tingkat kinerja
kerja guru dan karyawan yang bersangkutan. Dengan gaya kepemimpinan yang
diterapkan secara tepat oleh kepala sekolah dan sesuai dengan situasi serta
kondisi tersebut maka prestasi kerja guru dapat ditingkatkan.
0 Comments