Untuk menguasai kompetensi pedagogi, seorang guru diantaranya
harus dapat menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang
efektif. Menurut Hudoyo (1988) belajar merupakan suatu usaha yang berupa
kegiatan hingga terjadi perubahan tingkah laku yang relatif lama dan tetap.
Kegiatan yang dimaksud itu dapat diamati dengan adanya interaksi individu dengan
lingkungannya. Di sekolah, perubahan tingkah laku itu ditandai oleh kemampuan
siswa mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilannya.
Adapun teori merupakan prinsip umum yang didukung oleh data
dengan maksud untuk menjelaskan sekumpulan fenomena. Dengan demikian
berdasarkan pengertian belajar dan teori tersebut, secara ringkas dapat
dikatakan teori belajar merupakan hukum-hukum/prinsip-prinsip umum yang
melukiskan kondisi terjadinya belajar. Teori belajar dapat merupakan sumber
hipotesis, kunci dan konsep-konsep sehingga pengajar dapat lebih efektif dalam
melaksanakan pembelajaran.
Baca Juga: Informasi terkait Seleksi CPNS
Teori belajar akan sangat membantu pengajar dalam
membelajarkan siswa. Dengan memahami teori belajar, pengajar akan memahami
proses terjadinya belajar pada manusia. Pengajar akan mengetahui apa yang harus
dilakukan sehingga siswa dapat belajar dengan optimal. Tidak ada satupun teori
yang dapat menjelaskan secara tuntas semua seluk beluk belajar manusia. Oleh sebab
itu, dalam mengaplikasikan teori belajar, hendaknya tidak terpaku pada satu
atau dua teori belajar tertentu saja, melainkan disesuaikan dengan kondisi
faktual, keberagaman, tingkat perkembangan dan sasaran serta tujuan belajar.
Untuk lebih mengoptimalkan hasil pembelajaran, guru perlu memadukan beberapa
teori belajar. Namun harus diperhatikan bahwa tidak semua teori belajar dapat
dipadukan, karena berangkat dari asumsi-asumsi yang berbeda dalam penyusunan
teori belajar tersebut.
1.
Teori Belajar dalam Aliran
Behaviorisme
Paham behaviorisme berkonsentrasi pada studi tentang tingkah
laku yang dapat diamati dan diukur. Teori belajar behaviorisme menjelaskan
bahwa pikiran merupakan kotak hitam yang tidak dapat diamati. Oleh karenanya,
teori ini mengabaikan proses berpikir yang terjadi dalam pikiran.
a. Teori Pengkondisian Oleh Pavlov
Ivan Pavlov terkenal dengan teori Classical Conditioning atau
pengkondisian klasik. Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan
rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan
apa yang diinginkan. Pavlov menjelaskan teori pengkondisian klasik menjadi 4
proses yaitu: 1) fase akuisisi, 2) fase eliminasi, 3) fase generalisasi, dan 4)
fase deskriminasi.
Pelaksananaan pembelajaran dengan menggunakan teori belajar
dari Pavlov, misalnya agar siswa menguasai materi tertentu, siswa diberikan
stimulus tertentu yang dikondisikan. Misalnya, belajar tentang mengidentifikasikan
ciri-ciri dan kebutuhan makhluk hidup pada mata pelajaran IPA. Guru memberikan
soal kepada siswa, bila siswa dapat menjawab dengan benar, diberi hadiah berupa
tambahan nilai. Diharapkan dengan hadiah tersebut anak akan semakin semangat
belajar, sehingga belajar dapat menjadi kebiasaan. Jika telah menjadi
kebiasaan, walaupun pada akhirnya tidak diberikan hadiah lagi, siswa tetap
semangat untuk belajar.
b. Teori Koneksionisme Oleh Thorndike
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan
respon (R). Dalam pembelajaran di sekolah, guru mengajukan pertanyaan (S),
siswa menjawab pertanyaan guru (R). Guru memberikan Pekerjaan Rumah (S) dan
siswa mengerjakannya (R). Hal tersebut berarti belajar adalah upaya untuk membentuk
hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya, sehingga paham ini disebut paham
koneksionisme.
Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut : 1)
Hukum Kesiapan (law of readiness), 2) Hukum Latihan (law of exercise), 3) Hukum
Akibat (law of effect). Pada pelaksananaan pembelajaran dengan menggunakan
teori belajar dari Thorndike adalah agar siswa menguasai materi tertentu, maka
diawali dengan kesiapan siswa untuk belajar, baik secara fisik maupun mental,
misalnya dengan berdoa terlebih dahulu kemudian disampaikan manfaat mempelajari
materi tersebut. Selanjutnya guru mulai menyampaikan materi pelajaran.
Agar pemahaman siswa menjadi lebih baik, perlu diberikan
latihan-latihan soal. Misalnya jika guru mengajarkan bagaimana menjumlahkan dua
pecahan, guru harus memberikan latihan berulang-ulang dengan soal latihan
penjumlahan dua pecahan. Agar siswa semangat untuk berlatih, untuk setiap
jawaban yang benar guru memberikan reward (hadiah), baik berupa ungkapan verbal
ataupun yang berbentuk simbol, misalnya nilai.
Begitu pula ketika guru memberikan pelajaran tentang
lingkungan alam dan buatan di sekitar, guru perlu menayangkan gambar atau video,
sehingga siswa tertarik pada pelajaran tersebut. Ini berarti sesuai dengan hukum
kesiapan, bahwa semakin siswa tertarik terhadap materi pelajaran maka siswa
tersebut semakin siap dalam mengikuti pelajaran. Kemudian agar materi tersebut
mudah diterima oleh siswa, guru memberikan soal-soal yang yang harus dikerjakan
oleh siswa. Selain dengan cara tertulis, soal-soal tersebut disampaikan lagi
dengan cara lisan. Dengan cara tersebut, lama-kelamaan siswa akan menguasai
materi tersebut.
c. Teori Pengkondisian Operan oleh Skinner
Burrus Frederick Skinner berkebangsaan Amerika dikenal
sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan
meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses Operant Conditioning. Manajemen
Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain
dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan
dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat.
Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar
adalah penguatan, maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan
stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi
penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk-bentuk
penguatan positif berupa hadiah atau penghargaan. Bentuk-bentuk penguatan
negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas
tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang. Konsekuensi yang menyenangkan
menguatkan perilaku, sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan melemahkan
perilaku itu. Konsekuensi yang menyenangkan dinamakan penguatan
(reinforcement), sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan dinamakan
hukuman (punishment).
Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan teori belajar
dari Skinner dapat dicontohkan agar siswa menguasai materi tertentu, guru dapat
memberikan tugas pada siswa, baik tugas yang dikerjakan di kelas maupun tugas
yang dikerjakan di rumah (PR). Agar siswa mau dan bersemangat dalam mengerjakan
tugas, guru harus memberikan penguatan dengan segera dari penyelesaian
tugas-tugas tersebut.
d. Teori Pembiasaan Asosiasi Dekat oleh Gutrie
Edwin R Gutrie adalah penemu teori pembiasaan asosiasi dekat
(contiguous conditioning theory). Teori ini menyatakan bahwa belajar adalah
kedekatan hubungan antara stimulus dan respon. Menurut Guthrie, peningkatan
hasil belajar secara berangsur-angsur dapat dicapai oleh siswa karena kedekatan
asosiasi antara stimulus dan respon. Dalam kehidupan sehari-hari banyak
dijumpai peristiwa belajar dengan contiguous conditioning, misalnya mengasosiasikan
Ibu Kota Negara RI dengan Jakarta, 17 Agustus dengan hari ulang tahun Negara
Indonesia, 2 × 3 dengan bilangan 6. Untuk dapat belajar dengan kontiguitas
sederhana tersebut dapat diakukan dengan memberikan pertanyaan, misalnya
Ibu Kota Negara RI adalah ....
Tanggal 17 Agustus adalah ....
Hasil dari 2 × 3 adalah .....
Di antara teori-teori belajar yang beraliran behavioristik, teori kontigous dikenal teori yang sangat sederhana dan efisien, karena hanya berprinsip pada kedekatan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu teori ini tidak dapat diterima begitu saja karena sifatnya yang mekanistik dan cenderung otomatis. Padahal dalam proses belajar yang dialami oleh manusia, peran pemahaman, pengelolaan informasi, dan tahapan pengelolaan informasi juga menjadi bagian dari proses belajar tersebut. Karena hal inilah yang membuat teori ini kurang dapat berkembang, apalagi setelah berkembangnya psikologi kognitif.
Pelaksananaan pembelajaran dengan menggunakan teori belajar
dari Gutrie, misalnya agar siswa menguasai materi tertentu, guru harus mencari
kedekatan materi tersebut dengan sesuatu yang akan menjadi stimulus. Misalnya
guru dalam mengajarkan pecahan harus mengkaitkan dengan penulisan dalam bentuk atau dalam bentuk
pecahan desimal. Selanjutnya siswa dalam memahami konsep pecahan dibiasakan
dengan simbol-simbol tersebut. Agar siswa mampu mengenali konsep pecahan dengan
baik maka harus dilakukan pengulangan-pengulangan.
Begitu pula agar siswa memahami ciri-ciri warga negara
demokratis sebagai materi pembelajaran pada mata pelajaran PKn, maka siswa
dibiasakan dengan sifat-sifat demokratis. Pembiasaan ini dapat dilakukan dengan
kegiatan pembelajaran yang banyak menggunakan model belajar kelompok atau
diskusi kelompok.
e. Teori Kognitif Sosial oleh Bandura
Salah satu tantangan besar terhadap behaviorisme berasal dari
studi observasional oleh Albert Bandura dan rekan-rekannya. Temuan paling
penting dari penelitian ini adalah bahwa orang dapat mempelajari tindakan-tindakan
baru hanya dengan mengamati bagaimana orang lain melakukannya. Pengamat tidak
harus melakukan tindakan-tindakan tersebut pada saat ia mempelajarinya.
Teori yang dikemukakan oleh Bandura dikenal dengan teori
Kognitif Sosial. Teori ini menonjolkan gagasan bahwa sebagian besar manusia,
belajar dalam sebuah lingkungan sosial. Dengan mengamati orang lain, manusia
memperoleh pengetahuan, aturan-aturan, keterampilan-keterampilan,
strategi-strategi, keyakinan, dan sikap. Individu melihat model atau contoh
untuk mempelajari perilaku-perilaku yang dimodelkan, kemudian ia bertindak dengan
apa yang menjadi model dan contoh yang diamatinya.
Belajar terjadi melalui praktek dan pengamatan. Bandura
menyatakan perilaku manusia terjadi dalam kerangka timbal balik tiga sisi,
yaitu timbal balik antara perilaku, variabel lingkungan dan faktor personal seperti
kognisi. Bandura merasa bahwa seseorang belajar karena mempelajari langsung
dari model. Sebagai contoh siswa dapat mengerjakan soal matematika, karena
melihat gurunya mengerjakan soal matematika. Bandura mengemukakan bahwa belajar
dengan mengamati baik langsung maupun tidak langsung melalui empat fase, yaitu:
(1)menaruh perhatian, (2) mengingat perilaku model, (3) memproduksi perilaku
dan (4) termotivasi untuk mengulangi perilaku tersebut.
Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan teori belajar
dari Bandura adalah sebagai contoh agar siswa dapat menyelesaikan soal, guru
harus memberikan contoh bagaimana menyelesaikan soal serupa. Guru tersebut
harus memberikan contoh berkali-kali agar tumbuh perhatian anak pada cara yang
dilakukan guru. Kemudian siswa akan mengingat tentang cara yang digunakan guru
untuk menyelesaikan soal. Selanjutnya siswa akan meniru cara guru untuk
menyelesaikan soal serupa. Guru juga harus memberi motivasi agar siswa menjadi
bersemangat menyelesaikan soal yang diberikan guru.
Prinsip-prinsip Pembelajaran Behavioral
Cruickshank ,Jenkins & Metcalf (2012) (dalam Suranto,
2015), merangkum prinsip-prinsip pembelajaran menurut teori belajar behavioral,
sebagai berikut:
1) Buatlah
kelas dapat dinikmati secara intelektual, sosial, dan fisik, sehingga para siswa
merasa aman dan nyaman.
2) Jadilah
terbuka dan spesifik mengenai materi yang perlu dipelajari. Gunakan tujuan
perilaku spesifik ketika menulis perencanaan pelajaran dan berbagi pendapat
dengan tujuan tersebut kepada para siswa.
3) Yakinkan
bahwa siswa memiliki pengetahuan dan keahlian dasar yang memampukan mereka
untuk mempelajari materi baru.
4) Perlihatkan
koneksi antar materi baru dengan materi yang telah dipelajari sebelumnya.
5) Ketika
materi baru bersifat kompleks, perkenalkan secara perlahan, aturlah materi baru
ke dalam beberapa bagian yang berurutan, pendek, dan mudah dipelajari.
6) Asosiasikan
materi yang akan dipelajari dengan hal-hal yang disukai siswa. Contohnya,
asosiasikan puisi dengan musik rap. Sebaliknya, jangan mengasosiasikan materi
yang dipelajari dengan hal yang tidak disukai siswa. Misalnya, jangan
menggunakan tugas sekolah sebagai hukuman.
7) Katakan
kepada siswa, hal-hal apa yang paling penting. Berikan pertandanya kepada
mereka.
8) Kenali
dan pujilah kemajuan. Jangan berharap siswa belajar dengan kecepatan dan jumlah
yang sama.
9) Cari
tahu hal-hal apa yang menimbulkan perasaan dihargai untuk masing-masing siswa
dan gunakan hai itu untuk menguatkan perilaku belajar siswa. Beberapa siswa mungkin merasa dihargai dengan
menerima pujian verbal secara publik, sementara siswa lainnya menganggap puiian
semacam itu memalukan.
10) Untuk sebuah tugas baru atau sulit,
perlu disediakan penguatan yang lebih sering. Bila siswa telah menguasai tugas baru,
diberikan penguatan namun intensitasnya dikurangi dari sebelumnya.
11) Berikan penguatan akan perilaku
belajar yang Anda harapkan dari siswa. Contohnya, memperhatikan, keterlibatan,
mencoba, merespons, meningkatkan, dan menyelesaikan.
12) Ciptakan situasi yang memungkinkan setiap
siswa memiliki kesempatan untuk sukses.
13) Contohkanlah perilaku Anda agar siswa
meniru. Contohnya, tunjukan antusiasme dalam belajar.
14) Bahan ajar yang akan dipelajari harus
disajikan dalam bagian-perbagian dan dalam langkah-langkah yang berurutan.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan
paradigm behaviorisme dalam kegiatan pembelajarannya akan menyusun bahan
pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus
dikuasai siswa dapat disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi
ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik yang dilakukan
sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari
yang sederhana sampai pada yang kompleks. Tujuan pembelajaran dibagi dalam
bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu.
Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan
harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori
behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku
yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku
yang tampak.
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang
berpusat pada guru, bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang
dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan
teori behavioristic mempunyai persyaratan tertentu sesuai dengan ciri yang
dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga
ketelitian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting
untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan
kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur
seperti kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya,
contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer,
berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk
melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka
mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi
pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak
menyenangkan bagi siswa. Misalnya guru sebagai pusat pembelajaran, bersikap
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar,
dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya
mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar
dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat
dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling
efektif untuk menertibkan siswa.
2. Teori Belajar dalam Aliran Kognitivisme
Kognitivisme didasarkan pada proses berpikir dibalik tingkah
laku yang terjadi. Perubahan tingkah laku diobservasi dan digunakan sebagai
indikator untuk mengetahui apa yang terjadi dibalik pikiran siswa. Menurut
pandangan kognitivisme, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman.
Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku
yang bisa diamati. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman
dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam
bentuk struktur kognitif.
a. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Jean Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai
suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkrit ke abstrak
yang berurutan melalui empat periode. Urutan periode itu tetap bagi setiap
orang, namun usia kronologis pada setiap orang yang memasuki setiap periode
berpikir yang lebih tinggi berbeda-beda tergantung kepada masing-masing
individu (Hudoyo, 1988).
Periode yang dikemukakan Piaget adalah 1). Periode sensori
motor (0 -2 tahun), 2) Periode pra operasional (2 -7 tahun ), 3) Periode
operasional konkrit (7 – 11/12 tahun), dan 4) Periode operasi formal (11/12
tahun ke atas). Siswa SD berada pada periode operasional konkrit (7 – 11/12
tahun). Dalam periode ini anak berpikirnya sudah dikatakan operasional. Periode
ini disebut operasional konkrit sebab berpikir logiknya didasarkan atas
manipulasi fisik dari objek-objek. Operasi konkrit hanyalah menunjukkan
kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empirik – konkrit yang lampau dan
mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logik dari
pengalaman-pengalaman yang khusus.
Pada pelaksananaan pembelajaran dengan menggunakan teori
perkembangan intelektual menurut Piaget, guru harus menyesuaikan dengan tahap
perkembangan anak. Pembelajaran dari suatu materi ajar harus dimulai dengan
banyak menggunakan atau memanipulasi benda konkrit. Contohnya membelajarkan bilangan
di kelas 1 SD harus dimulai dengan peragaan benda-benda konkrit, misalnya
kelereng, lidi atau benda konkrit yang lain, sehingga terbentuk konsep bilangan.
Begitu juga untuk mengajarkan bangun-bangun geometri juga harus dimulai dengan
menggunankan model bangun-bangun geometri.
b. Teori Pemrosesan Informasi
Gagne mengemukakan teori belajar yang dikenal dengan teori
pemrosesan informasi. Teori ini pada dasarnya untuk menjelaskan fenomena
belajar. Proses yang terjadi seperti cara kerja komputer, yang dimualai dari
masukan (input) kemudian proses (procces) dan keluaran (output).
Diadaptasi dari Atkinson and Shiffrin (1968).
Gambar 4. Model belajar berdasarkan teori pemrosesan
informasi
Stimulus tidak sampai kepada ingatan jangka pendek karena stimulus tersebut tidak dapat menjadi perhatian. Mengingat kembali atau memanggil kembali informasi dalam ingatan jangka panjang akan meningkat jika kita menghubungkan informasi kepada hal-hal yang sudah kita ketahui pada saat kita menerima informasi baru. Pelaksananaan pembelajaran dengan menggunakan teori pemrosesan informasi yaitu guru harus berusaha agar bahan pelajaran yang ditangkap siswa pada saat pembelajaran dapat maksimal. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan perhatian siswa terhadap bahan pelajaran tersebut, misalnya dengan menjelaskan manfaatnya, menyajikannya dengan cara yang menarik. Selanjutnya bahan pelajaran yang sudah menjadi perhatian siswa tersebut harus diupayakan dapat disimpan dalam pikiran siswa dengan baik dan juga dapat diingat dengan mudah. Untuk itu guru perlu menyusun bahan pelajaran tersebut agar mudah diingat, misalnya menyusun berdasarkan kekompleksitasnya atau dengan jembatan keledai. Selain itu juga dilakukan pengulangan-pengulangan agar bahan pelajaran tersebut dapat diingat dengan kuat oleh siswa.
c. Teori Bruner
Jerome Bruner berpendapat bahwa belajar ialah memahami
konsep-konsep dan struktur-struktur yang terdapat dalam materi yang dipelajari
serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur
tersebut. Seperti halnya dengan Piaget, Bruner menggambarkan anak-anak
berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental yang tidak dikaitkan dengan
usia siswa, yaitu:
1) Enactive.
Dalam tahap ini anak-anak di dalam belajarnya menggunakan/memanipulasi
objek-obek secara langsung.
2) Ikonic.
Tahap ini menyatakan bahwa kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental yang
merupakan gambaran dari objek-objek. Dalam tahap ini, anak tidak memanipulasi
langsung objek-objek seperti dalam enactive, melainkan sudah dapat memanipulasi
dengan menggunakan gambaran dari objek.
3) Symbolic.
Tahap terakhir ini, menurut Bruner merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol
secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek-objek. Misalnya guru
SD kelas I akan mengajarkan operasi penjumlahan pada bilangan asli dengan Teori
Bruner. Langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut:
Enaktif : siswa memanipulasi obyek secara langsung. Guru membawa benda konkrit berupa 3 buah jeruk kemudian guru menunjukkan lagi 2 buah jeruk. Siswa dan guru bersama-sama menghitung buah jeruk, sehingga ada 5 buah jeruk.
Ikonik : Guru menyajikan gambar jeruk dipapan tulis, agar siswa memiliki gambaran dari objek
Simbolik: Selanjutnya guru menuliskan dalam simbol bilangan dipapan tulis.
3+2= 5
Selain itu untuk mengajar suatu konsep, dapat digunakan teorema kontras dan variasi. Misalkan menjelaskan konsep dari bangun datar yang berupa jajargenjang dapat digunakan contoh dan bukan contoh, yaitu diberikan gambar yang berupa jajargenjang dan gambar yang bukan jajargenjang. Selain itu juga diberikan variasi dari bentuk-bentuk jajargenjang tersebut. Begitu juga jika menjelaskan perubahan sifat benda pada mata pelajaran IPA. Guru dapat menjelaskan berbagai perubahan sifat benda dengan menggunakan teori kontras dan variasi, misalnya perubahan sifat benda membeku dengan memberikan berbagai contoh membeku, misalnya air membeku menjadi es, minyak goreng membeku pada udara dingin. Guru juga menjelaskan perubahan sifat benda yang bukan membeku, misalnya lilin dipanaskan akan meleleh, air jika dipanaskan menjadi uap air.
d. Teori Bermakna Ausubel
D.P. Ausubel mengemukakan bahwa belajar dikatakan menjadi
bermakna (meaningful) bila informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai
dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga siswa dapat mengaitkan
informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Dalam kaitannya dengan penyampaian bahan yang diajarkan,
Ausubel lebih menyukai bahan yang disajikan itu telah disusun secara final.
Siswa belajar dengan menerima bahan yang telah disusun secara final, pengajar
menyampaikan dengan ceramah. Bahan pelajaran yang disusun itu bermakna sehingga
mudah diserap siswa. Penyampaian informasi dengan ceramah, asalkan bahan yang
disampaikan itu disusun secara bermakna, akan menghasilkan belajar bermakna.
Ausubel menolak pendapat bahwa semua kegiatan belajar dengan
menemukan adalah bermakna, sedang kegiatan belajar dengan ceramah adalah kurang
bermakna. Ia berpendapat bahwa kedua kegiatan belajar itu saling tidak
bergantungan satu sama lain. Dari dua dimensi kegiatan belajar tersebut, ia
mengidentifikasi empat kemungkinan tipe belajar : 1) belajar dengan penemuan
yang bermakna, misalnya siswa diminta menemukan sifat-sifat suatu persegi.
Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-sifat
persegipanjang, siswa dapat menemukan sendiri sifat-sifat persegi tersebut. 2)
belajar dengan ceramah yang bermakna, 3) belajar penemuan yang tidak bermakna –
Informasi yang dipelajari ditentukan secara bebas oleh siswa, kemudian ia
menghafalnya. Misalnya, siswa menemukan sifat-sifat persegi tanpa bekal
pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat dengan
sifat-sifatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka. Dengan alat-alat ini
diketemukan sifat-sifat persegi dan kemudian dihafalkan, 4) belajar dengan
ceramah yang tidak bermakna – Informasi dari setiap tipe bahan disajikan kepada
siswa dalam bentuk final. Siswa tersebut kemudian menghafalkannya tanpa
memperhatikan atau mengaitkan dengan pengetahuan yang dimilikinya..
e. Teori Dienes
Z.P. Dienes adalah seorang matematikawan yang tertarik kepada
cara mengajarkan matematika kepada anak-anak. Teorinya didasarkan atas teori
perkembangan intelektual dari Piaget. Dienes mengembangkan teorinya, agar
matematika menjadi lebih menarik dan lebih mudah dipelajari. Seperti halnya
dengan Bruner, Dienes berpendapat bahwa setiap konsep atau prinsip matematika
dapat dimengerti secara sempurna hanya jika pertama-tama disajikan kepada siswa
dalam bentuk-bentuk konkrit. Konsep-konsep matematika dipelajari menurut
tahap-tahap bertingkat seperti halnya dengan tahap periode perkembangan
intelektualnya Piaget.
Terdapat enam tahap yang beruntun dalam belajar matematika yaitu
1) permainan bebas (free play), 2) permainan yang menggunakan aturan (games),
3) permainan mencari kesamaan sifat (searching for comunalities), 4) permainan
dengan representasi (representation), 5) permainan dengan simbulisasi
(simbolization), 6) formalisasi (formalization).
Pelaksananaan pembelajaran dengan menggunakan teori belajar
dari Dienes, misalnya guru Sekolah Dasar akan menjelaskan bahwa dua bilangan
ganjil kalau dijumlahkan hasilnya bilangan genap. Pembelajaran dimulai dari
permainan bebas, yaitu siswa diminta mengelompokkan kelereng sesuai dengan
keinginannya. Kemudian diminta untuk menghitung kelompok-kelompok kelereng
tersebut. Selanjutnya cara mengelompokkan diarahkan dengan membuat dua kelompok
yang berjumlah ganjil kemudian menjumlahkannya. Kemudian melakukan lagi tentang
hal sama sampai diperoleh kesamaan sifat yaitu hasil penjumlahan dua bilangan
ganjil adalah genap. Tentu untuk pembelajaran di Sekolah Dasar cukup sampai
disini, untuk tahap simbolisasi dan formalisasi akan dilakukan kalau sudah
belajar di SMP.
f. Teori Belajar Van Hiele
Menurut Van Hiele ada tiga unsur utama dalam pembelajaran
Geometri, yaitu waktu, materi pembelajaran, dan metode pembelajaran yang
diterapkan. Jika ketiga unsur utama tersebut dilalui secara terpadu akan dapat
meningkatkan kemampuan berpikir siswa kepada tahapan berpikir yang lebih
tinggi. Adapun tahapan-tahapan belajar Geometri menurut Van Hiele ada lima
tahapan, yaitu tahap pengenalan bentuk suatu bangun geometri, analisis
sifat-sifat dari bangun geometri, pengurutan bangun-bangun geometri yang satu
dengan lainnya saling berhubungan, deduksi, dan akurasi/rigor (Karso, dkk,
2013).
Pelaksananaan pembelajaran dengan menggunakan teori van
Hiele, yaitu setiap konsep geometri harus dimulai dari tahap pengenalan. Misalkan
akan membelajarkan konsep-konsep dari bangun datar. Pembelajarannya dimulai
dengan mengenalkan berbagai bangun datar, dapat berupa segitiga, persegi,
persegi panjang, jajargenjang, belah ketupat, layang-layang, trapesium,
lingkaran dan lainlain.
Setelah anak mengenal bangun-bangun datar tersebut dari segi
bentuknya dilanjutkan dengan mengenal sifat-sifatnya, misalnya persegi
mempunyai empat sisi yang sama panjang. Selanjutnya siswa dibelajarkan hubungan
antara bangun datar yang satu dengan bangun datar yang lain, misalnya persegi
adalah persegi panjang, tetapi persegi panjang belum tentu persegi. Untuk siswa
sekolah dasar hanya sebatas sampai tahap urutan, untuk tahap deduksi dan rigor
akan disampaikan pada siswa SMP dan SMA.
g. Teori Belajar Brownell dan Van Engen
Menurut William Brownell (1935) bahwa belajar itu pada
hakekatnya merupakan suatu proses yang bermakna. Ia mengemukakan bahwa belajar
matematika itu harus merupakan belajar bermakna dan pengertian. Menurut teori
makna, anak harus melihat makna dari apa yang dipelajari. Teori makna mengakui
perlunya drill dalam pembelajaran matematika, bahkan dianjurkan kalau memang
diperlukan. Jadi drill itu penting, tetapi drill dilakukan apabila suatu
konsep, prinsip atau proses telah dipahami dengan baik oleh siswa.
Teori makna memandang bahwa matematika sebagai suatu sistem
dan konsepkonsep, prinsip-prinsip dan proses-proses yang dapat dimengerti. Jadi
anak harus dapat melihat makna dari apa yang dipelajari, anak harus tahu makna
dari symbol yang ditulis dan juga ungkapan yang diucapkannya. Pelaksanaan
pembelajaran dengan menggunakan teori belajar Brownell dan van Engen dapat
dicontohkan sebagai berikut: Misalnya akan membelajarkan penjumlahan dua
bilangan dua angka dengan satu kali teknik menyimpan di kelas 2 SD dapat
dilakukan sebagai berikut:
Hitunglah 45 + 28 = …
45 = 40 + 5
28 = 20 + 8
= 60 + 13 = 60 + (10 + 3) = (60 + 10) + 3 = 70 + 3 = 73
Dengan cara ini dapat dijelaskan mengapa menggunakan teknik
menyimpan harus digunakan. Jadi anak dapat menangkap makna “teknik menyimpan”,
sehingga membantu siswa mengetahui makna dari apa yang dipelajari. Selanjutnya,
setelah anak sudah memahami makna dari apa yang dipelajari, untuk memperkuat
pemahaman dapat dilakukan dengan drill.
Prinsip-prinsip Pembelajaran Kognitif
Berikut dikemukakan prinsip-prinsip pembelajaran menurut
teori-teori kognitif yang dapat diterapkan oleh pendidik.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget bagi
pembelajaran antara lain:
1) Pahami perkembangan kognitif anak dan
sesuaikan bahan ajar menurut tingkat perkembangannya.
2) Jagalah agar siswa tetap aktif selama
pembelajaran.
3) Ciptakan ketidak sesuaian agar siswa
terangsang untuk berpikir kritis.
4) Ciptakan interaksi sosial yang
memadai.
Implikasi dari teori pemrosesan imformasi:
1) Perhatian para siswa dapat diraih dan
dipertahankan lebih lama dengan menggunakan saluran sensorik dan memberikan
variasi dalam penggunaannya.
2) Para siswa cenderung memperhatikan
pelajaran yang memilki variasi stimulus, usahakan pembelajaran bervariasi,
jangan monoton.
3) Waktu yang tepat untuk menjaga
perhatian adalah ketika siswa sedang waspada. Untuk alasan itu, guru SD
disarankan untuk memberi jadwal pelajaran seni, musik dan olah raga di sore
hari.
4) Untuk mengatasi kapasitas yang
terbatas dari ingatan jangka pendek, informasi baru dapat diorganisasi dan
dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya.
5) Pengulangan berkali-kali terhadap
informasi baru dapat memindahkan informasi ke dalam ingatan jangka panjang.
6) Untuk memanggil kembali informasi
dalam ingatan jangka panjang dapat dilakukan dengan menghubungkan dengan
informasi yang sudah diketahui pada saat itu
Cruickshank, Jenkins & Metcalf (2012) (dalam Suranto,
2015), merangkum prinsip-prinsip pembelajaran menurut teori belajar kognitif,
sebagai berikut.
1) Siswa harus membuat hubungan antar
informasi baru dengan informasi yang sudah dimiliki.
2) Informasi baru harus disajikan secara
logik untuk disampaikan kepada siswa.
3) Siswa akan melupakan informasi,
kecuali mereka berlatih atau berpikir mengenai informasi itu.
4) Siswa harus berinteraksi dengan guru
dan didorong untuk bertanya.
5) Ketika siswa dapat menemukan sesuatu
atas usaha mereka sendiri, mereka akan belajar lebih baik.
6) Para siswa perlu belajar mengenai
cara belajar
7) Tujuan terpenting dalam pembelajaran
adalah membantu siswa menjadi pemecah masalah yang lebih baik.
3.
Teori Belajar dalam Aliran
Konstruktivisme
Konstruktivisme didasarkan pada pernyataan bahwa kita semua
membangun pengetahuan kita sendiri dari lingkungan untuk memperoleh pengalaman
dan skema. Konstruktivisme berfokus pada penyiapan siswa pada penyelesaian
masalah.
Menurut teori ini bahwa dalam proses pembelajaran, siswa yang
harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, bukan pengajar atau orang lain. Mereka yang harus
bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara
aktif ini perlu dikembangkan. Belajar lebih diarahkan pada experimental
learning yaitu merupakan adaptasi belajar berdasarkan pengalaman konkrit di
laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian direnungkan lalu
dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya penekanan dari mendidik
dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada siswa.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran
konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata
dalam konteks yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan
pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, (4) pembelajaran dilakukan dalam
upaya mengkonstruksi pengalaman.
a. Konsep Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Dalam hal belajar, Piaget tidak sependapat bahwa belajar itu
suatu yang terbatas, yaitu lebih dipacu ke arah spontanitas terbatas untuk
masalah tunggal (teori stimulus respon). Menurut Piaget, struktur kognitif yang
dimiliki seseorang itu karena proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru yang langsung menyatu dengan
struktur mental yang sudah dimiliki seseorang. Akomodasi adalah proses
penstrukturan kembali struktur mental akibat adanya informasi dan pengalaman
baru.
Jadi menurut Piaget, belajar itu tidak hanya menerima
informasi dan pengalaman baru saja, tetapi juga penstrukturan kembali informasi
dan pengalaman yang baru. Misalnya di dalam struktur mental siswa telah ada
pengorganisasian dan pengelompokan bentuk-bentuk persegi, persegi panjang,
jajargenjang. Kemudian siswa diberikan bangun trapesium, siswa mengerti bahwa
trapesium merupakan segi empat dengan sifat yang sedikit berbeda dengan
struktur kognitif yang telah dimilki. Berarti siswa tersebut menyatukan objek
ke dalam struktur kognitif yang sudah dimilikinya dan terjadilah apa yang
disebut asimilasi. Setelah itu, terjadi penstrukturan kembali konsep yang telah
dimiliki siswa karena adanya informasi baru tentang trapesium tadi. Ini berarti
terjadi akomodasi.
Pada penerapan pembelajaran yang berbasis konstruktivisme,
guru disarankan memulai pembelajaran dari apa yang menurut siswa hal yang
biasa, hal yang sudah diketahui oleh siswa. Selanjutnya, perlu diupayakan
terjadinya situasi konflik pada struktur kognitif siswa. Contohnya pada
pembelajaran klasifikasi hewan dalam mata pelajaran IPA tentang ular dan belut,
siswa menduga bahwa ular dengan belut dalam satu jenis karena dipandang
bentuknya hampir sama, padahal keduanya jelas berbeda. Tidak sekedar berbeda
spesies, bahkan juga berbeda genusnya. Dengan demikian di dalam struktur
kognitif siswa akan terjadi situasi konflik.
b. Konsep Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Berbeda dengan Piaget, Vygotsky tidak menganggap tahapan
sebagai urutan diskrit. Vygotsky lebih mementingkan bahwa belajar menekankan
interaksi dengan orang lain. Vygotsky berpendapat perkembangan kognitif
terbatas dalam rentang kecil pada setiap usia dan interaksi sosial dengan
orang-orang yang lebih berpengalaman diperlukan untuk menemukan “zona
perkembangan terdekat” yang dikenal dengan ZPD (Zone of Proximal Development).
Teori Vygotsky didasarkan pada dua gagasan utama. Pertama,
perkembangan intelektual dapat dipahami hanya dari sudut konteks historis dan
budaya yang dialami anak-anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem tanda
yang ada bersama masing-masing orang ketika mereka tumbuh. Teory Vygotky
dikenal dengan teori perkembangan sosiokultural.
Konsep Vygotsky tentang daerah perkembangan terdekat
didasarkan pada gagasan bahwa perkembangan didefinisikan oleh apa yang dapat
dilakukan oleh seorang anak secara mandiri dan apa yang dapat dilakukan anak
tersebut ketika dibantu oleh orang dewasa atau teman yang lebih kompeten. Dalam
kegiatan pembelajaran, guru harus merencanakan kegiatan yang mencakup tidak
hanya apa yang sanggup dilakukan oleh anak-anak sendiri, tetapi apa yang dapat
dipelajari dengan bantuan orang lain yang lebih berkompeten.
Oleh sebab itu dalam pembelajaran dengan melibatkan orang
yang lebih dewasa harus disusun tingkatan pengetahuan yang berjenjang, sehingga
dapat meraih kemampuan potensialnya. Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan
berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding,
berarti memberikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan secara
bertahap selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan
tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang
diberikan pengajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah
ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada
hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi
antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada
lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia
berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya.
Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam
jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal
development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan
masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman
sebaya yang lebih mampu.
Penerapan teori Vygotsky sangat mendukung pengembangan
pendidikan kewarganegaan sekaligus untuk mengembangkan kehidupan yang
demokratis. Menurut Udin S Winataputra (2007), warga negara yang demokratis
tidak dilahirkan, melainkan diciptakan dalam proses sosialisasi. Dengan
demikian demokrasi haruslah dipelajari dan dipelihara. Untuk itulah perlu
proses pendidikan yang dapat menghasilkan manusia yang demokratis.
Prinsip-prinsip Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme
Prinsip-prinsip pembelajaran sebagai implikasi dari teori
konstruktivis dari Piaget adalah:
1) Dalam proses pembentukan pengetahuan,
kebermaknaan merupakan interpretasi individual siswa terhadap pengalaman yang
dialaminya (Meaning as internally constructed).
2) Pembentukan makna merupakan proses negosiasi
antara individual siswa dengan pengalamannya melalui interaksi dalam proses
belajar sehingga siswa menjadi tahu (Learning and teaching as negotiated
construction of meaning)
3) Mengajar bukanlah kegiatan
memindahkan pengetahuan dari pengajar kepada pembelajar, melainkan suatu kegiatan
yang memungkinkan pembelajar membangun sendiri pengetahuannya.
4) Mengajar berarti berpartisipasi dengan
pembelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan,
bersikap kritis dan mengadakan justifikasi
5) Pengetahuan dibentuk dalam struktur
konsep masing-masing individual siswa.
6) Struktur konsep dapat membentuk
pengetahuan, bila konsep baru yang diterima dapat dikaitkan/dihubungkan
(proposisi) dengan pengalaman yang dimiliki siswa.
Prinsip-prinsip pembelajaran sebagai Implikasi teori sosio
kultural Vygotky bagi pembelajaran antara lain:
1) Interaksi sosial itu penting,
pengetahuan dibangun dengan melibatkan orang lain akan menjadi lebih baik.
2) Perkembangan manusia terjadi melalui
alat-alat cultural (bahasa, simbol) yang diteruskan dari orang ke orang.
3) Zona perkembangan proksimal adalah perbedaan
antara apa yang dapat dilakukan sendiri (kemampuan actual) dan apa yang dapat
dilakukan dengan bantuan orang yang lebih dewasa (kemampuan potensial).
4. Teori Belajar dalam Aliran Humanisme
Humanisme memandang bahwa belajar adalah usaha untuk
memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha
agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar pada aliran humanism ini berusaha memahami
perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal
diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan
potensipotensi yang ada dalam diri mereka. Kaum humanis menerapkan pendidikan dan
pembelajaran berdasarkan pada kebutuhan dan minat siswa. Karena kebutuhan dan
minat adalah faktor yang mendorong atau memotivasi kita.
Dengan demikian pendidikan harus dibuat bersifat sangat
personal. Dengan kata lain, pemikiran humanistik mendesak agar di dalam
mengajar guru harus memperhatikan minat dan kebutuhan anak dan lebih jauh lagi
dapat menciptakan lingkungan kelas yang sehat secara sosial dan emosional yang ditandai
dengan adanya penerimaan dan rasa saling menghargai.
a. Teori dari Arthur Combs
Arthur Combs bersama dengan Donald Snygg mencurahkan banyak
perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar
yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru
tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan
kehidupan mereka. Anak tidak bisa pada mata pelajaran matematika atau IPS bukan
karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa serta merasa sebenarnya
tidak ada alasan penting harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya
tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang
tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba
memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah
perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang
ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat
bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar
apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal
makna tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting adalah
bagaimana membawa siswa untuk memperoleh arti/makna bagi pribadinya dari materi
pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan gambaran persepsi diri dan dunia seseorang
seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu.
Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkaran besar adalah
persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin
berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai
sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
b. Teori dari Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri
individu ada dua hal, yaitu suatu usaha yang positif untuk berkembang dan
kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa
individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat
hirarkis. Menurut Maslow, setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan yang
tersusun secara hirarki dari tingkat yang paling mendasar sampai pada tingkat
yang paling tinggi. Setiap kali kebutuhan pada tingkatan paling bawah terpenuhi
maka akan muncul kebutuhan lain yang lebih tinggi.
Hirarki kebutuhan Maslow, sebagai berikut: 1) kebutuhan fisik
misalnya oksigen untuk bernapas, air untuk diminum, makanan, papan, sandang,
buang hajat kecil maupun besar, dan fasilitas-fasilitas yang dapat berguna
untuk kelangsungan hidupnya, 2) kebutuhan akan rasa aman dan tenteram (Safety
Needs) misalnya mengusahakan keterjaminan finansial melalui asuransi atau dana
pensiun, dan sebagainya, 3) kebutuhan untuk dicintai dan disayangi (Belongingness
Needs), misalnya menjalin persahabatan, 4) kebutuhan harga diri secara penuh (
Esteem Needs) meliputi kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status,
perhatian, reputasi, kebanggaan diri, dan kemashyuran. Tipe atas terdiri atas
penghargaan oleh diri sendiri, kebebasan, kecakapan, keterampilan, dan
kemampuan khusus (spesialisasi), 5) butuhan Aktualisasi Diri ( Self
Actualization Needs).
Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai
implikasi yang penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu melakukan
kegiatan pembelajaran. Menurut Maslow, perhatian dan motivasi belajar ini
mungkin kurang berkembang kalau kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi.
c. Teori dari Carl Rogers
Carl Rogers (dalam Suranto, 2015) membedakan dua tipe
belajar, yaitu: Kognitif (kebermaknaan) dan experiential (pengalaman atau
signifikansi). Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan
terpakai seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil.
Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa.
Kualitas belajar experiential learning mencakup: keterlibatan siswa secara
personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang
membekas pada siswa.
Menurut Rogers (dalam Suranto, 2015) setiap individu
mempunyai keinginan untuk mengaktualisasi diri dan memiliki dorongan untuk menjadi
dirinya sendiri. Karena setiap individu terdapat kemampuan untuk mengerti
dirinya sendiri, menentukan hidupnya sendiri, dan menangani sendiri masalah
yang dihadapinya. Itulah sebabnya dalam proses pembelajaran hendaknya diciptakan
kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif mengaktualisasi
dirinya.
Menurut Rogers (2002) yang terpenting dalam proses
pembelajaran adalah guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran,
yaitu:
1) Menjadi manusia berarti memiliki
kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal
yang tidak ada artinya.
2) Siswa akan mempelajari hal-hal yang
bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti
mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
3) Pengorganisasian bahan pembelajaran
berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi
siswa.
4) Belajar yang bermakna dalam masyarakat
modern berarti belajar tentang proses.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar
guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers. Model ini kemudian diteliti
oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk
menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik
positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah merespon perasaan siswa,
menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang,
berdialog dan berdiskusi dengan siswa, menghargai siswa, kesesuaian antara
perilaku dan perbuatan, menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan
untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa), tersenyum pada siswa.
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi
angka bolos siswa, meningkatkan nilai konsep diri siswa, meningkatkan upaya
untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang
kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan
mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan
dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
Prinsip-Prinsip Pembelajaran Humanistik
Menurut Crichshank, Jenkins & Metcalf (2012) dalam
Suranto (2015) ada beberapa proposisi-proposisi dari penganut pembelajaran humanistik.
Dari proposisi-proposisi di atas, diperoleh beberapa prinsip pembelajaran
humanistik sebagai berikut:
1) Pembelajaran hendaknya berfokus pada
upaya untuk memahami cara manusia menciptakan perasaan, sikap dan nilai-nilai.
2) Pembelajaran hendaknya bertemakan
upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar, terutama aspek afektif seperti emosi,
perasaan, sikap, nilai dan moral.
3) Pembelajaran hendaknya menumbuhkan
harga diri dan keyakinan.
4) Pembelajaran hendaknya berfokus pada
kebutuhan dan minat siswa.
5) Sekolah harus menyesuaikan diri
menurut kebutuhan anak, bukan anak yang menyesuaikan dengan kebutuhan sekolah.
Implikasi dari teori humanistik akan memberi perhatian pada
guru sebagai fasilitator. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru sebagai
fasilitator, yaitu:
1) Fasilitator sebaiknya memberi
perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman
kelas
2) Guru sebagai fasilitator hendaknya
membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3) Guru harus mempercayai adanya
keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang
bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam
belajar yang bermakna tadi.
4) Guru mencoba mengatur dan menyediakan
sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa
untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5) Guru menempatkan dirinya sendiri
sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6) Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan
di dalam kelas, guru mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik
bagi individual ataupun bagi kelompok
7) Guru harus mengambil prakarsa untuk
ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak
menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi
yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
8) Di dalam berperan sebagai seorang
fasilitator, guru harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya
sendiri.
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit
selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran
guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa
juga sebagai motivator sehingga pada diri siswa tumbuh kesadaran mengenai makna
belajar dalam kehidupannya. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa
dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai
pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya
sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya
secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada
hasil belajar. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk
diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena
sosial seperti yang terkandung dalam mata pelajaran IPS, PKn, dan Bahasa
Indonesia. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang,
bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang
bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya
sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau
melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
0 Comments